Melbourne, March 8, 2008
“Wahai orang yang lembut hatinya
Sudah lama aku selalu mengecap pahit
Kelam oleh penderitaan
Aku tak ada siapapun kecuali Allah dihatiku
Tapi kau datang dengan cahaya
Aku ingin menjadi yang halal bagimu
Yang kan kau kecup keningnya
Kau hapus air matanya
Dari orang yang selalu merindukan cahayamu.”
(Ayat-ayat Cinta)
Bersujud ia dalam pelukan malam…dibalut hening…ditemani sunyi…terluncur isi hatinya…
“Tubuh ini tak lagi bersujud untuk-Mu”
“Mulut ini tak lagi lantunkan asma-Mu”
“Jari-jari ini tak lagi bertasbih untuk-Mu”
“Kaki ini tak lagi berjalan menuju surga-Mu”
“Mata ini tak lagi susuri ayat-ayat-Mu”
“Nafas ini tak lagi berhembus tuk ibadah-Mu”
“Telinga ini tak lagi dengarkan perintah-Mu”
“Maafkan hamba-Mu ya Robbi”
“Maafkan hamba-Mu yang lalai”
“Maafkan hamba-Mu yang khilaf”
“Jiwa ini kering rindukan sentuhan-Mu”
“Tunjukkan aku terang-Mu”
“Sentuh aku dengan ayat-ayat-Mu”
Jatuh, lunglai, rapuh…berderai air mata…
“Aku merasa sangat kotor”
“Aku merasa sangat hina”
“Masih pantaskah aku menghadap-Mu?”
“Masih adakah ampunan untukku?”
“Tak ada yang berkuasa selain Dia”
“Yang tentukan hidup dan matimu”
“Hatimukah yang berbicara?”
“Atau kelemahan sesaatmu?”
“Jika tulus hatimu…maaf-Nya selalu ada”
“Sungguhkah apa yang kau ucapkan?”
“Sungguhkah Ia maha pemaaf?”
“Tapi aku begitu berlumur dosa?”
“Betaubat dan jangan terjatuh pada lubang yang sama”
“Insya Allah ditunjukkan jalan untukmu”
“Begitu damai wajahmu”
“Begitu santun tutur katamu”
“Ijinkan aku jadikanmu cahayaku”
“Ijinkan aku beribadah bersamamu”
“Ijinkan aku ikatkan diriku denganmu dalam ikatan suci Illahi”
“Dengan seijin-Nya”
“Hanya dengan seijin-Nya”